Oleh. Radhika Basu Thakur
Di
sini, di India, bagi anak orang kaya, membeli sebatang cokelat adalah tindakan
yang gampang dilakukan, tapi bagi anak miskin, itu anugerah besar.Cokelat
merupakan camilan langka. Tidak diragukan lagi, anak orang miskin, bahkan tak
bisa sekadar menghabiskan lima rupee untuk membeli barang yang amat diinginkan
ini. Cokelat, di Negara ini, menjadi hak istimewa orang kaya. Orang miskin tak
punya cokelat. Itu belum selesai.
Jalan
di Calcutta penuh dengan pengemis anak-anak. Aku tak member mereka uang karena
aku tahu sebagian besar uang itu tidak akan menjadi milik mereka, namun
kesedihan di mata mereka menyentak perasaanku yang paling dalam. Alih-alih,
ketika aku melihat anak kecil mengemis, aku membelikannya sebatang cokelat. Ada
satu anak di luar perguruan tinggiku yang bersikap layaknya teman terhadapku
dan mengatakan “Hai!” kepadaku setiap kali aku melintas. Namanya, seperti yang
kuketahui jauh hari kemudian, Raja.
Tanpa
rencana, suatu hari aku membelikannya sebatang Dairy Milk. Ketika ia
mengambilnya dari tanganku, matanya berbinar. Saat memegang batangan cokelat
itu di tangannya, seolah-olah dia mendapatkan emas. Rasa terima kasih
menyelubunginya, dan dia menjadi malu dan berlari menjauh, segera setelah
mengucapkan “Terima kasih, Didi” dengan amat bersemangat. (Dalam bahasa India, didi digunakan untuk menunjuk kakak
perempuan.)
Sedikit
terkejut dengan kegembiraannya yang begitu besar, aku memandangnya sejenak
ketika dengan bangga dia memamerkan perolehan terbarunya kepada teman-temannya;
sebagian di antara mereka terbelalak, sementara anak-anak yang lebih berusaha
merebutnya, tapi jelas-jelas gagal.setelah euphoria awalnya mereda dan
anak-anak lain mulai bosan dan berjalan menjauh, dia memanggil mereka kembali.
Perlahan dia membuka kertas timah tipis pembungkus untuk menguak cokelat yang
berwarna cokelat gelap itu, sementara yang lain melihat, ngiler, dalam
keheningan penuh ketakjuban.
Benar-benar pamer, pikirku. Tapi saat
itulah dia melakukan sesuatu yang tak pernah kubayangkan. Dia mematahkan
batangan cokelat itu menjadi lima kepingan sama besar dan membaginya dengan
semua temannya, yang sekarang memperlakukannya layaknya setengah dewa. Aku mengira
anak kecil itu bakalan ingin menyimpan cokelat itu, camilan langka itu, semua
untuk dirinya sendiri.
Berulang
kali aku membelikannya batangan cokelat sesudah itu, dan aku benar-benar
berpikir dia akan menjadi tamak setelah beberapa waktu, tapi dia selalu
membaginya sama rata di antara semua temannya. Suatu ketika aku bahkan berusaha
membelikannya satu batangan yang benar-benar kecil, tapi entah bagaimana mereka
juga bisa mendapatkan secuil darinya.
Sebelum
membelikannya cokelat di salah satu hari-hari itu, aku bertanya kepadanya mengapa
dia selalu membagi cokelatnya. Tanpa basa-basi dia memberikan jawaban yang
membuatku agak malu. Dia hanya berkata, “Didi, mereka adalah keluargaku; kami
harus berbagi apa saja, besar atau kecil. Aku tak bisa memimpikan sesuatu tanpa
membaginya dengan mereka semua. Kenapa kau bertanya? Tidakkah kau melakukan hal
yang sama dengan keluarga atau teman-temanmu?” Setelah berkata begitu dia
mengambil cokelat dari tanganku, berteriak gembira “Terima kasih!” (setelah
berminggu-minggu rasa malunya sirna), dan melompat menyusuri trotoar untuk
mencari keluarganya.
Apakah
aku sudah bersikap egoistis? Apakah aku sudah menjadi terlalu sibuk dengan
diriku sendiri untuk bahkan peduli tentang berbagi kegembiraan, kepemilikan,
pencapaian, kesedihan, kegagalan…. Kehidupanku? Apakah aku peduli dengan mereka
yang paling aku cintai? Apakah mereka bahkan memikirkanku ketika memiliki
sesuatu untuk dibagi, atau apakah mereka hanya menyimpannya untuk diri sendiri?
Kata-kata Raja terus terngiang di telingaku.
Kadang
tindakan terkecil kita membawa sinar mentari ke dalam kehidupan seseorang, dan
sinar mentari itu secara otomatis meluber ke dalam kehidupan kita juga.
Dikutip dari "Chicken
Soup for the Chocolate Lover’s Soul"